
Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga Sebagai Korban Tindak Kekerasan
Pengarang : Mustika Ratu - Personal Name;
Perpustakaan UBT : Universitas Borneo Tarakan., 2020XML Detail Export Citation
Abstract
Pekerja Rumah Tangga (PRT) sering dimaknai sebagai Pembantu Rumah Tangga. Kata “pembantu” secara harfiah bisa diartikan sebagai orang yang membantu-bantu dirumah. Alasannya, karena pembantu rentan disalah artikan, menjadi orang yang membantu dengan ikhlas tanpa bayaran. Padahal, faktanya pembantu secara sadar bekerja dengan tujuan untuk mencari nafkah. Adapun yang dimaksud dengan kekerasan dalam Pasal 89 KUHP adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah) dijelaskan bahwa melakukan kekerasan artinya memepergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Berdasarkan permasalahan diatas menimbulkan dua isu hukum yaitu kedudukan PRT dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan mengenai Perlindungan Hukum bagi PRT korban tindak kekerasan. Isu hukum ini diteliti menggunakan metode Normatif dan menggunakan pendekatan statue approach. Pada akhir penelitian ini penulis menarik kesimpulan bahwa Kedudukan PRT seharusnya diakui sebagai subjek hukum di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu sebagai pekerja dengan segala macam hak-haknya. Begitu juga dengan majikan yang diakui sebagai pemberi kerja perseorangan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagaakerjaan dan Perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang PKDRT ternyata juga tidak terlepas dari permasalahan. Ketentuan yang menjadikan tindak pidana kepada PRT dianggap sebagai delik aduan dirasa kurang tepat. Pada hakikatnya, PRT bukanlah anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah atau keluarga dari majikannya Ketentuan yang diatur dalam PKDRT menjadikan tindak pidana kepada PRT dianggap sebagai delik aduan dirasa kurang tepat. Pada hakikatnya, PRT bukanlah anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah atau keluarga dari majikannya sehingga tindak kekerasan terhadap PRT seharusnya termasuk dalam delik biasa. Serta penulis merasa bahwa perlu adanya Undang-Undang atau Peraturan yang secara khusus mengatur tentang PRT diharapkan dapat berlaku secara efektif dan dapat menjamin perlindungan PRT yang sering mengalami kekerasan dari pihak majikan dan dapat lebih memahami kedudukannya serta dapat menjalankan kewajiban dan juga haknya sebagaimana seharusnya.
Domestic Workers (PRT) are often interpreted as Domestic Helpers. The word "maid" can literally be interpreted as someone who helps at home. The reason is because maids are vulnerable to being misinterpreted, being people who help with sincerity without pay. In fact, the fact is the maid consciously works with the aim of making a living. As for what is meant by violence in Article 89 of the Criminal Code is to make people faint or powerless (weak) explained that to do violence means illegally using force or physical strength illegally, for example hitting with a hand or with all kinds of weapons, kicking, kicking etc. Based on the above problems, two legal issues arise, namely the position of domestic workers in Law Number 13 of 2003 concerning Manpower and concerning Legal Protection for domestic workers victims of violence. This legal issue is examined using the Normative method and using the statue approach. At the end of this study the authors draw the conclusion that the position of domestic workers should be recognized as a legal subject in Law Number 13 of 2003 concerning Labor, namely as workers with all kinds of rights. Likewise with employers who are recognized as individual employers by Law Number 13 of 2003 concerning Employment and Legal Protection granted by the PKDRT Law, apparently it is also not free from problems. Provisions that make criminal acts against domestic workers are considered as offenses that are deemed inappropriate. In essence, domestic workers are not family members who have blood relations or the family of their employer The provisions stipulated in the Domestic Violence Law make the crime against domestic workers considered as offenses that are deemed in appropriate. In essence, domestic workers are not family members who have blood relations or the family of their employers so acts of violence against domestic workers should be included in ordinary offenses. And the authors feel that the need for a law or regulation specifically regulating domestic workers is expected to be effective and can guarantee the protection of domestic workers who often experience violence from the employer and can better understand their position and be able to carry out their obligations and rights as they should.