
Syair Berbahasa Bugis Dalam Naskah Lama La Galigo Jilid II Karya Arung Pancana Toa (Kajian Semiotik)
Pengarang : Muhammad Azni - Personal Name;
Perpustakaan UBT : Universitas Borneo Tarakan., 2015XML Detail Export Citation
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna Syair Berbahasa Bugis. Pada Naskah Lama La Galigo Jilid II Karya Arung Pancana Toa Kajian Semiotik. Pada episode Syair Perkawinan Batara Lattuq dan Wé Datu Sengngeng. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode baca dan catat. Data yang ada kemudian dianalisis menggunakan teori Semiotik dengan pembacaan Heuristik dan pembacaan hermeniutik dalam syair La Galigo. Data pada penelitian ini adalah teks (kata-kata), frase, klausa dan kalimat pada syair berbahasa Bugis. Sumber data adalah buku syair La Galigo Jilid II karya Arung Pancana Toa. Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian diperoleh data, bahwa pada Syair Berbahasa Bugis Dalam Naskah Lama La Galigo Jilid II, pada episode Perkawinan Batara Lattuq dan Wé Datu Sengngeng, dengan tema Epik atau epos (kepahlawan) terdapat makna dan simbol yang tersirat, yaitu; budaya perkawinan, bahasa kuno, dan nilai moral, yang menggambarkan kehidupan sosial dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Bugis masa lampau. Adat istiadat yang terdapat dalam Syair La Galigo, yaitu; Manrawé (Balliq), Bosaraq, Patola (sarung sutra), memukul genderang, membunyikan gong, proses pernikahan dengan penjahitan sarung pada kedua pengantin, pemasangan perhiasan (Lolaq, Kalaru, Cincin, kuku tiruan, anting-anting (Pengantin perempuan), menggunakan keris emas, rumbai-rumbai Kepala, dan sarung sutra (pengantin laki-laki)), pembakaran dupa atau kemenyan (wangi-wangian), pemakaian bedak (bepupur), dan mandi berlangir (mandi kembang). Bahasa kuno, yaitu; Arumpigi, Alosu, Manrawe, kalaru, Manurung, dan lain-lainnya. Nilai moral, yaitu; rendah hati, menghormati mertua, menghormati raja (pimpinan), taat pada pencipta, murah hati, menerima apa adanya, dan memegang budaya malu (Siriq). Sedangkan kebiasaan masyarakat masa lampau pada setiap acara perkawinan dan kehidupan bermasyarakat, mengutamakan rasa gotong royong, saling memberi bantuan. Selain itu, ada percampuran budaya yang terjadi, yaitu, budaya cina dan budaya melayu, yang dibuktikan dengan adanya benda dan alat yang berupa; guci, tenunan melayu, dan kain sutera.
Tidak Tersedia Deskripsi