
Kedudukan Alat Bukti Rekaman Suara Dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi
Pengarang : Rico Audian Pratama Manurung - Personal Name;
Perpustakaan UBT : Universitas Borneo Tarakan., 2016XML Detail Export Citation
Abstract
Alat Bukti yang sah adalah Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Alat Bukti rekaman suara tidak dapat diajukan sebagai alat bukti berdasarkan KUHAP. Sedangkan pada praktiknya alat bukti rekaman suara dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam kasus Tindak Pidana Korupsi. Rumusan masalah dari penulisan hukum ini adalah mengenai Pengaturan dan Standart Rekaman Suara sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi serta Kekuatan Alat Bukti Rekaman Suara dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi. Metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pengaturan rekaman suara sebagai alat bukti petunjuk, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan TIPIKOR, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Standart Rekaman Suara sebagai alat bukti dalam persidangan perkara TIPIKOR, hanyalah rekaman yang berasal dari sadapan KPK, sedangkan rekaman suara yang direkam oleh seseorang atau masyarakat hanya dapat dijadikan alat bukti permulaan, dalam mengadukan adanya dugaan Tindak Pidana korupsi. Rekaman Suara dapat menjadi alat bukti petunjuk sepanjang rekaman suara tersebut ada persesuaiannya dengan alat bukti lain misalnya dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Kemudian hakim memerlukan seorang ahli Digital Forensic untuk dimintai keterangannya guna keyakinan kepada hakim tentang suara siapa yang berbicara dalam rekaman tersebut.
Tidak Tersedia Deskripsi