
Gratifikasi Pelayanan Seksual Sebagai Tindak Pidana Korupsi
Pengarang : Mardiana Arsjad - Personal Name;
Perpustakaan UBT : Universitas Borneo Tarakan., 2017XML Detail Export Citation
Abstract
Penelitian tesis ini bertujuan untuk menganalisis salah satu jenis tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu tentang Gratifikasi, khususnya pemberian hadiah layanan seksual yang ada dalam beberapa kasus korupsi . Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah pemberian layanan seksual yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dikategorikan sebagai gratifikasi dan menjadi tindak pidana korupsi. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis pembuktian dan pengaturan sanksi hukum bagi pelaku gratifikasi pelayanan seksual di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif (normative legal research) karena masih kurang jelasnya pengaturan tentang gratifikasi pelayanan seksual sebagai salah satu tindak pidana korupsi.Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pada pasal 12 B belum mengatur secara tegas tentang gratifikasi pelayanan seksual. Dalam pasal ini hanya mencantumkan pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Oleh karena itu perlu perumusan secara tersendiri untuk memformulasikan aturan tentang gratifikasi pelayanan seksual sebagai salah satu tindak pidana korupsi dengan tetap mengacu kepada unsur-unsur dalam pasal tersebut. Pembuktian gratifikasi pelayanan seksual tetap menggunakan Pembalikan Beban Pembuktian menurut pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001. Bahwa yang nilainya Rp 10.000.000,- atau lebih dibuktikan oleh penerima gratifikasi dan yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,- dilakukan oleh penuntut umum. Sanksi hukum bagi Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara yang melakukan tindak pidana korupsi dalam hal menerima gratifikasi pelayanan seksual dapat dijerat pasal 5 ayat (2), pasal 12 huruf a dan b, atau pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bila mana memenuhi unsur unsurnya. Adapun bagi si pemberi gratfikasi dapat dijerat pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan sanksi yang bisa dikenakan kepada obyek hukum gratifikasi seksual (perempuan pemberi layanan seks) dapat dijerat dengan pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Penerima gratifikasi layanan seksual dan perempuan yang menjadi obyek layanan seksual tersebut beserta penerima layanan seksual dapat juga dijerat dengan pasal 284 KUHP delik kesusilaan , jika keduanya memenuhi unsur –unsur yang ada dalam pasal tersebut.
This thesis research aims to analyze one of the types of criminal acts of corruption contained in Law Number 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption which is amended by Law Number 20 Year 2001, which is about Gratification, in particular the provision of sexual service gifts in some cases of corruption.The issues raised in this study are whether the provision of sexual services received by public servants or state officials can be categorized as gratification and become a criminal act corruption. This study also aims to analyze the provision and regulation of legal sanctions for perpetrators of the gratification of sexual services in Indonesia. This study uses the type of normative legal research (normative legal research) because it is still less clear about the regulation of gratification of sexual services as one of the criminal acts of corruption. The approach used in this study is the approach of legislation and conceptual aproach. In chapter 12 B has not been explicitly set about the gratification of sexual services. In this article only includes the provision of money, goods, discounts, commissions, interest-free loans, travel tickets, lodging facilities, travel, free treatment, and other facilities. Therefore it is necessary to formulate individually to formulate rules on the gratification of sexual services as one of the criminal acts of corruption by still referring to the elements in the article. The proof of the gratification of sexual services still using the Reversal of Burden of Proof according to Article 12 B Law Number 20 Year 2001. That the value of Rp 10,000,000,- or more proven by the gratuity recipient and whose value is less than Rp.10.000.000,- is made by the public prosecutor. Legal sanctions for Civil Servants and State Officials who commit corruption in accepting the gratification of sexual services may be charged under Article 5 paragraph (2), Article 12 letters a and b or Article 12B of Law Number 31 Year 1999 juncto Law Number 20 of 2001 when it meets its elemental elements. As for the gratfication giver can be charged with Article 5 paragaph (1) of Law Number 31 Year 1999 juncto Law Number 20 Year 2001 and the sanction that can be applied to the object of sexual gratification law (women giving sex service) can be charged with article 15 Law Number 31 Year 1999 juncto Law Number 20 Year 2001. The recipients of gratification of sexual services and women who become the object of sexual services and the recipients of sexual services may also be charged under article 284 of the Criminal Code of moral decency if both fulfill the elements in the article.