Pelaku bisnis rumput laut di indonesia rata-rata mengalami masalah tingkat kekeringan rumput laut yang dibeli dari petani. produk yang dibeli dari petani tingkat kekeringannya masih jauh dibawah standar yang dibutuhkan oleh industri pengolahan rumput laut. pengumpul local biasanya membeli rumput laut dengan kadar air masih berada pada level 38% ke atas sehingga ketika rumput laut akan dijual baik untuk keperluan industry local maupun export harus dilakukan penjemuran dan proses pembersihan ulang. kekeringan ideal yang dikehendaki oleh industri pengolahan rumput laut maksimal adalah 35%. pada kasus di tarakan petani melakukan pengeringan rumput laut sebelum dijual ke pengepul. indikator yang digunakan oleh petani untuk mengetahui suatu kekeringan dari rumput laut adalah warnanya. berdasarkan hasil wawancara salah satu petani mengatakan bahwa tingkat kekeringan rumput laut yang baik jika warnanya berubah menjadi putih tulang. indikator inilah yang digunakan petani untuk menentukan tingkat kekeringan rumput laut. kelemahan dari indikator tersebut adalah petani tidak mengetahui standar kandungan kadar air pada rumput laut tersebut. maka dari itu peneliti membuat alat agar pengepul rumput laut dapat mengetahui tingkat kekeringan rumput laut dengan menggunakan alat. dimana tingkat kering rumput laut yang dimiliki pengepul rumput laut kota tarakan sudah memenuhi sni bernilai kisaran 41%. dengan menggunakan alat pengepul dapat mengkategorikan rumput laut dikategori kering dengan nilai pembaca sensor dengan rentang nilai warna r dari 195 – 170, g dari 213 – 200, dan nilai b dari 168 – 152. rumput laut dikategori sedang dengan nilai pembaca sensor dengan rentang nilai warna r dari 152 – 115, g dari 170 – 122, dan nilai b dari 111 – 150. rumput laut dikategori basah dengan nilai pembaca sensor dengan rentang nilai warna r dari 163 – 148, g dari 190 – 178, dan nilai b dari 150 – 130.

Most seaweed business actors in indonesia have experienced various problems related to the dryness of seaweed purchase from the farmers. the product purchased from the farmers were still below then standard required by the seaweed processing industries. the local collectors commonly purchased the seaweed with the water content still at the level of more than 38%. thus, when intended to sell for both local and export industrial purpose, the seaweed should be re-dried and cleaned. the ideal dryness expected by the seaweed processing industries was maximally 35%. in tarakan, the farmers first dried the seaweed before sold to the collectors. the indicator used by the farmers to determine the seaweed dryness was due to its color. based on the interview results, one farmer said that the seaweed dryness level is considered good if the color has changed into white bone. this indicator was used by the farmers to determine the seaweed dryness level. the weakness of this indicator was that the farmers did not know the standard of water contained in the seaweed. thus, the researcher made an instrument for the seaweed collectors to determine the seaweed dryness level. in facts, the seaweed dryness level made by the collectors in tarakan had met the sni value of approximately 41%. by using the instrument, the collectors possibly categorize the seaweed dryness level using the sensor reader with the values of r color ranging from 195 – 170, g color ranging from 213 – 200, and b color ranging from 168 – 152. seaweed is in medium category if the sensor reading has the value of color r rangiin from 152 – 115, color g ranging from 170 – 122, and color b ranging from 111 – 150. seaweed is considered wet if the sensor reading has the value of color r ranging from 163 – 148, g ranging from 190 – 178, and color b ranging from 150 – 130.